penyebab banyaknya penggangguran di negara maju

Generasi Muda di Negara Maju Terancam Menganggur, Ini Penyebabnya

Banyak yang berpikir bahwa hidup di negara maju berarti memiliki kesempatan kerja yang lebih baik dan lebih mudah. Namun, realitanya justru sebaliknya—jutaan anak muda di berbagai negara maju masih menganggur, bahkan setelah menyelesaikan pendidikan tinggi.

Kondisi ini semakin mengkhawatirkan setelah pandemi Covid-19, yang menyebabkan banyak perusahaan menghentikan perekrutan. Bahkan, Uni Eropa disebut-sebut bisa kehilangan satu generasi pekerja akibat situasi ini.

Baca juga : Benarkah anak muda indonesia frustasi

Mengapa Banyak Anak Muda Menganggur?

Dari berbagai laporan dan data terbaru, ada beberapa faktor utama yang menyebabkan angka pengangguran anak muda di negara maju terus meningkat. Berikut empat penyebab utamanya:

1. Memilih ‘Istirahat’ dari Dunia Kerja

Berdasarkan data dari Straits Times, 1,26 juta dari 8,41 juta anak muda berusia 15 hingga 29 tahun di Korea Selatan masih menganggur. Yang mengejutkan, sebanyak 53,8 persen di antaranya merupakan lulusan sarjana.

Dalam survei yang dilakukan Korean Herald, sekitar 997 ribu anak muda memilih untuk menganggur karena ingin ‘istirahat’ sejenak dari dunia kerja. Sementara itu, mereka yang benar-benar ingin bekerja membutuhkan waktu sekitar 10 bulan untuk mendapatkan pekerjaan, karena ketersediaan lapangan kerja tidak sebanding dengan jumlah lulusan baru.

2. Fenomena ‘Full-Time Children’

Di China, muncul fenomena ‘Full-Time Children’ yang viral di media sosial Douban pada akhir tahun lalu. Anak-anak muda memilih tinggal di rumah dan tidak bekerja, tetapi tetap menerima ‘gaji’ dari orang tua mereka.

Menurut Zhang Dandan, profesor dari Universitas Peking, ada sekitar 16 juta anak muda di China yang memutuskan menjadi ‘Full-Time Children’ karena orang tua mereka rela memberikan tunjangan sekitar 6.000 yuan (sekitar Rp13 juta per bulan). Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata gaji kelas menengah di China.

Fenomena ini mencerminkan kelelahan generasi muda akibat budaya kerja ekstrem ‘996’—bekerja dari jam 9 pagi hingga 9 malam selama 6 hari seminggu—yang membuat mereka enggan masuk ke dunia kerja.

3. Kesulitan Mendapatkan Pekerjaan

Di India, tingkat pengangguran juga didominasi oleh lulusan sarjana. Kisah seorang pria bernama Sanil menjadi viral setelah diketahui bahwa meskipun memiliki dua gelar sarjana dan satu gelar master, ia tetap harus bekerja sebagai tukang sapu sekolah dengan gaji hanya sekitar Rp1,2 juta per bulan.

Menurut Centre for Monitoring Indian Economy, pada tahun 2022, sekitar 40 persen populasi anak muda di India berusia di bawah 25 tahun. Sayangnya, 45,8 persen dari mereka masih menganggur karena minimnya lapangan kerja.

Masalah ini tidak hanya terjadi di India. Di Uni Eropa, kondisi serupa terjadi setelah banyak perusahaan menghentikan perekrutan akibat pandemi. Hal ini membuat banyak anak muda kesulitan mendapatkan pekerjaan meskipun memiliki pendidikan tinggi.

4. Biaya Hidup yang Terus Meningkat

Di Inggris, tingkat pengangguran dalam dua tahun terakhir mencapai 4,3 persen. Sayangnya, meningkatnya biaya hidup semakin memperparah situasi.

Banyak perempuan di Inggris bahkan terpaksa masuk ke dunia prostitusi untuk menutupi biaya hidup, termasuk membayar tagihan listrik, air, dan kebutuhan pokok lainnya.

Bagaimana dengan Indonesia?

Meskipun angka pengangguran di Indonesia terus menurun sejak pandemi, jumlahnya masih cukup tinggi. Pada tahun 2023, tingkat pengangguran Indonesia berada di angka 5,45 persen, sedikit di atas rata-rata pengangguran dunia yang sebesar 4,9 persen.

Situasi ini menunjukkan bahwa pengangguran bukan hanya masalah negara berkembang, tetapi juga menjadi tantangan serius di negara maju. Generasi muda kini menghadapi tantangan baru dalam mencari pekerjaan yang layak di era pascapandemi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *