Semakin sulit masyarakat mendapatkan rumah layak huni dengan harga terjangkau. Meski program rumah subsidi digencarkan pemerintah, kenyataan di lapangan justru menunjukkan banyaknya perumahan murah yang kualitasnya jauh dari kata ideal.
Masih sangat jelas dalam ingatan Saleh, rasa bahagia ketika menerima kunci rumah pertamanya pada tahun 2017. Rumah itu adalah bentuk pencapaian setelah bertahun-tahun bekerja keras di Jakarta. Meski hanya rumah subsidi di Cikarang yang dibangun di atas lahan seluas 60 meter persegi, Saleh melihatnya sebagai simbol keberhasilan pribadi.
Baca juga : Tips Membersihkan Wasatafel
Namun, mimpi memiliki rumah sendiri berubah menjadi kenyataan pahit. Jarak yang terlalu jauh membuatnya hanya bisa menginap saat akhir pekan. “Setiap bulan saja paling nginep di sana, saat weekend,” ujarnya.
Brosur berwarna cokelat muda yang dahulu terlihat menjanjikan kini tinggal kenangan. Perlahan, Saleh menyadari bahwa kualitas bangunan tidak sebaik yang dibayangkan. Tembok rumah mulai rapuh, tiang teras tak memiliki besi penyangga, dan lantai kamar utama mulai ambles.
“Maklumlah, ini kan dulunya sawah yang diurug,” katanya pasrah.
Alih-alih menjadi tempat tinggal nyaman, rumah itu malah menjadi beban. Dengan penghasilan Rp5 juta per bulan, Saleh harus menabung ekstra ketat untuk merenovasi rumah agar benar-benar layak huni. Ia memperkirakan membutuhkan sekitar Rp50 juta untuk itu—jumlah yang tidak sedikit.
Rumah Subsidi 14 Meter Persegi: Solusi atau Sindiran?
Kondisi Saleh mencerminkan keresahan banyak pencari rumah saat ini. Ketika media sosial dihebohkan oleh konsep rumah subsidi seluas 14 meter persegi, publik pun bereaksi keras. Termasuk Rahman (28) dan Wisman (30), dua anak muda yang penasaran dan datang langsung melihat maket rumah tersebut.
Namun, antusiasme mereka sirna seketika. “Kamar mandi kosan gue aja lebih luas dari ini,” kata Wisman. Sementara Rahman menyebut rumah itu sebagai “tidak manusiawi.”
Desain rumah mungil itu disebut pemerintah cocok untuk kaum muda urban yang ingin tinggal dekat pusat kota. Namun, banyak yang mempertanyakan kualitas hidup yang ditawarkan. Sama seperti dalam dunia judi bola, di mana pemain harus cermat membaca situasi sebelum memasang taruhan, memilih rumah pun memerlukan pertimbangan matang—terutama soal kenyamanan dan kelayakan hidup.
“Kalau buat single masih oke lah ya. Tapi kalau udah punya pasangan atau anak, pikir-pikir lagi deh,” ujar Wisman.
Respons Pemerintah dan Kritik Publik
Direktur Jenderal Perumahan Perkotaan Kementerian PUPR, Sri Haryati, menyatakan bahwa rumah 14 meter persegi itu masih sebatas konsep. “Kami terbuka dengan kritik. Ini masih dalam tahap rencana,” ujarnya dalam presentasi resmi.
Namun, pernyataan tersebut tak cukup menenangkan publik. Bagi sebagian besar masyarakat, rumah bukan sekadar tempat berteduh, melainkan ruang hidup yang mendukung kesehatan fisik, keseimbangan emosi, serta hubungan keluarga.
Tulus Abadi, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), menyebut rumah 14 meter sebagai kemunduran dalam pemenuhan hak atas perumahan. Ia menyayangkan desain yang dinilai tidak sesuai dengan standar minimum menurut Peraturan Menteri PUPR No. 10 Tahun 2018, apalagi standar internasional UN-Habitat yang menyebut luas minimum rumah layak adalah 30 meter persegi.
“Rumah subsidi seharusnya jadi jembatan menuju kehidupan yang lebih baik, bukan jebakan yang memiskinkan dari segi ruang dan martabat,” tegas Tulus.
Solusi Nyata: Hunian Vertikal dan Reformasi Tata Kota
FKBI mendesak pemerintah untuk menghentikan proyek rumah subsidi ultra-mungil dan fokus membangun hunian vertikal yang terjangkau, terutama di kota-kota padat seperti Jakarta, Bekasi, dan sekitarnya.
Seperti halnya strategi dalam judi bola online, di mana analisis dan langkah jangka panjang menjadi kunci kemenangan, pembangunan perumahan pun memerlukan pendekatan berkelanjutan yang tak sekadar mengejar kuantitas, melainkan juga kualitas.
Dalam konteks ini, kehadiran negara sebagai penyedia dan pengatur menjadi sangat penting. Sebab, rumah bukan hanya bangunan, tapi fondasi masa depan keluarga dan masyarakat yang sehat.