Masyarakat Indonesia tentu sudah tidak asing dengan penyebutan gelar Haji atau Hajah, khususnya bagi umat Islam yang telah menjalankan ibadah Haji ke Tanah Suci. Biasanya, setelah seseorang pulang dari Mekkah, namanya akan diiringi dengan sebutan “Bapak Haji” atau “Ibu Hajah”, yang menjadi bentuk penghormatan sosial maupun spiritual.
Baca juga : Dampak Psikologis Memiliki Nama yang Umum dan Pasaran
Namun, tahukah Anda bagaimana asal-usul gelar ini bisa begitu mengakar dalam masyarakat Indonesia? Menariknya, tradisi ini memiliki sejarah panjang dan bukan sekadar simbol religius, tapi juga berkaitan erat dengan budaya, status sosial, bahkan kolonialisme. Fenomena ini tidak jauh berbeda dari bagaimana topik-topik populer seperti judi bola menyebar luas melalui media sosial dan percakapan sehari-hari—meski konteksnya berbeda, keduanya memperlihatkan bagaimana suatu istilah bisa membentuk identitas dan pengakuan sosial.
Perjuangan Menuju Tanah Suci dan Simbol Kehormatan
Menurut laman resmi Kementerian Agama RI (kemenag.go.id), fiolog dan Staf Ahli Menteri Agama, Oman Fathurahman, menjelaskan bahwa pemberian gelar Haji dan Hajah memang sah dan wajar dalam konteks budaya Indonesia. Hal ini karena pada masa silam, melakukan perjalanan Haji adalah perjuangan berat yang bukan hanya soal jarak dan waktu, tapi juga soal keberanian dan daya tahan.
Bayangkan saja, jamaah haji Indonesia dahulu harus mengarungi lautan, menembus badai, hingga menghadapi perompak dalam perjalanan berbulan-bulan. Setibanya di Mekkah dan kembali ke Tanah Air dengan selamat, mereka dianggap sebagai orang yang telah mencapai level spiritual dan sosial yang tinggi. Maka, penyematan gelar pun menjadi bentuk penghormatan atas perjuangan tersebut—tak jauh berbeda dari bagaimana pencapaian dalam dunia judi bola atau kompetisi olahraga lainnya dapat mendatangkan pengakuan dan status di lingkungan tertentu.
Tradisi Gelar Haji di Wilayah Melayu
Antropolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi, menyatakan bahwa tradisi memberi gelar haji bukan hanya ada di Indonesia. Di kawasan Islam Melayu lain seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, bahkan Thailand Selatan, hal serupa juga terjadi.
Uniknya, di Mesir bagian utara, gelar Haji tidak hanya berhenti di nama, tetapi juga diwujudkan dalam bentuk visual seperti lukisan Ka’bah di rumah atau gambar kendaraan yang digunakan selama perjalanan ke Mekkah. Sama seperti penggemar judi bola yang menampilkan atribut klub kesayangannya di rumah atau kendaraan, ekspresi kebanggaan dan identitas terlihat dari luar.
Perspektif Agama, Budaya, dan Kolonial
Dadi Darmadi menjelaskan bahwa ada tiga perspektif penting dalam melihat tradisi pemberian gelar Haji:
- Religius: Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima dan pelaksanaannya tidak mudah. Butuh kesiapan finansial, mental, dan fisik. Maka wajar jika gelar Haji dianggap layak untuk terus disematkan sebagai tanda pencapaian spiritual.
- Kultural: Cerita-cerita heroik selama menunaikan Haji telah berkembang menjadi narasi sosial yang menginspirasi. Ini mendorong lebih banyak orang ingin berhaji, seperti halnya cerita dramatis di dunia judi bola yang mendorong fanatisme atau loyalitas terhadap tim tertentu.
- Kolonial: Pada masa penjajahan Belanda, gelar Haji juga digunakan sebagai alat pengawasan. Pemerintah kolonial bahkan mendirikan Konsulat Jenderal di Arab pada 1872 untuk memantau pergerakan jamaah Haji dari Hindia Belanda. Mereka diharuskan mengenakan pakaian khusus dan memakai gelar Haji untuk memudahkan identifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa gelar Haji tak hanya simbol spiritual, tapi juga menjadi alat kontrol politik.
Nilai Sosial Gelar Haji di Masa Kini
Kini, gelar Haji dan Hajah masih melekat kuat dalam budaya Indonesia, meski perjalanannya sudah jauh lebih mudah dengan adanya transportasi udara dan layanan biro haji yang profesional. Namun, nilai simbolisnya tetap tinggi. Gelar ini memberikan status sosial tertentu, bahkan bisa memengaruhi cara seseorang diperlakukan di masyarakat.
Sama halnya dalam komunitas digital atau forum judi bola, di mana “gelar” atau reputasi akun pengguna bisa menentukan seberapa dihargai atau didengarnya seseorang dalam diskusi. Dalam konteks yang berbeda, keduanya menunjukkan bahwa gelar, simbol, atau pencapaian tetap relevan sebagai bentuk pengakuan sosial.
Penutup
Tradisi penyematan gelar Haji dan Hajah di Indonesia bukan sekadar kebiasaan, tetapi sebuah bentuk penghormatan atas perjuangan spiritual dan sosial. Ia mencerminkan sejarah panjang, nilai religius, dan dinamika budaya yang masih hidup hingga kini. Seperti halnya istilah dan simbol dalam judi bola yang tumbuh menjadi bagian dari identitas komunitas tertentu, gelar Haji juga telah menjadi bagian penting dari struktur sosial dan budaya Indonesia.