Bagaimana Ketupat Jadi Salah Satu Menu yang Identik dengan Momen Lebaran

Ketupat, hidangan ikonik Lebaran di Indonesia, bukan sekadar makanan pelengkap. Ia menyimpan sejarah panjang, makna filosofis yang dalam, serta menjadi simbol kuat dari akulturasi budaya dan nilai-nilai keagamaan yang mengakar kuat di masyarakat Nusantara.

Ketupat, yang terbuat dari beras dan dibungkus anyaman daun kelapa muda, selalu hadir dalam momen Lebaran baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Biasanya ketupat disajikan bersama opor ayam, rendang, sambal goreng hati, dan berbagai lauk khas lainnya. Namun di balik tampilannya yang sederhana, ketupat menyimpan cerita panjang dan makna religius yang kaya.

Asal Usul Ketupat: Dari Sunan Kalijaga hingga Tradisi Bakda Kupat

Sejarah ketupat dihubungkan dengan salah satu Wali Songo, yakni Sunan Kalijaga. Ia memperkenalkan ketupat sebagai bagian dari dakwah Islam melalui pendekatan budaya. Dalam tradisi masyarakat Jawa, dikenal istilah Bakda Kupat—sebuah perayaan yang digelar seminggu setelah Idul Fitri, ditandai dengan pembagian ketupat kepada sanak saudara dan tetangga.

Menurut budayawan Zastrouw Al-Ngatawi, tradisi ini muncul sebagai upaya mengintegrasikan ajaran Islam dengan tradisi lokal yang sebelumnya telah dikenal masyarakat, seperti slametan.

Ketupat dalam konteks ini bukan sekadar makanan, tetapi alat dakwah. Ia menjadi simbol kebersamaan, ungkapan syukur kepada Allah SWT, serta bentuk nyata dari silaturahmi dan saling memaafkan di hari yang fitri.

Makna Filosofis: Dari “Ngaku Lepat” hingga “Laku Papat”

Dalam bahasa Jawa, kata “ketupat” atau “kupat” berasal dari dua makna simbolik. Pertama, ngaku lepat, yang berarti mengakui kesalahan. Kedua, laku papat, yang merujuk pada empat tindakan penting dalam kehidupan spiritual umat Islam setelah Ramadhan:

  1. Lebaran: membuka pintu maaf.
  2. Luberan: memberi dengan kelimpahan, bersedekah.
  3. Leburan: melebur dosa.
  4. Laburan: menyucikan diri, membersihkan hati.

Anyaman rumit pada ketupat melambangkan kerumitan hidup dan dosa manusia, sementara isi beras putih mencerminkan kebersihan hati yang didapat setelah proses saling memaafkan.

Akulturasi di Berbagai Daerah: Ketupat sebagai Representasi Budaya

Terlepas dari perdebatan sejarahnya—apakah berasal dari era Wali Songo atau zaman Hindu-Buddha—ketupat telah menyebar luas ke berbagai wilayah di Indonesia dan mengalami akulturasi sesuai dengan karakter budaya masing-masing daerah.

Di daerah pesisir, ketupat kerap dihidangkan dalam ritual laut. Di tempat lain, ketupat diolah menjadi makanan khas seperti ketupat sayur, ketupat kandangan, atau ketupat lebaran Betawi. Semua ini menunjukkan kekayaan budaya Indonesia yang terus hidup dan berkembang.

Menariknya, ketupat juga menjadi penyeimbang nilai di tengah tantangan zaman. Di era modern, di mana hiburan digital dan fenomena seperti judi bola online semakin populer di kalangan masyarakat, terutama generasi muda, tradisi seperti makan ketupat bersama keluarga menjadi momen penting untuk kembali menguatkan nilai-nilai kebersamaan dan spiritualitas.

Ketupat: Lebih dari Sekadar Hidangan

Di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi, ketupat tetap bertahan sebagai simbol budaya, spiritualitas, dan persatuan. Momen menyantap ketupat di hari Lebaran bukan hanya sekadar ritual makan, melainkan pengingat akan pentingnya saling memaafkan, memberi, dan menjaga keharmonisan dalam kehidupan sosial.

Dalam konteks masyarakat yang kini menghadapi berbagai tantangan moral, termasuk pengaruh negatif dari dunia digital seperti judi bola yang marak di platform daring, keberadaan tradisi ketupat menjadi refleksi bahwa nilai-nilai lokal dan religi masih memiliki tempat yang kuat di hati masyarakat Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *