Situasi di Gaza saat ini memunculkan kembali bayang-bayang kelam Perang Vietnam tahun 1968. Bagi para pengamat dan jurnalis global, tindakan militer Israel di Gaza mengingatkan pada strategi brutal militer Amerika Serikat terhadap Viet Cong puluhan tahun lalu.
Dalam analisis David Hearst, Pemimpin Redaksi Middle East Eye, terlihat bahwa pendekatan Israel untuk menghancurkan Hamas sangat mirip dengan strategi Amerika dalam menghapus pengaruh Viet Cong, termasuk dalam cara militer memperlakukan warga sipil sebagai bagian dari musuh.
Baca juga : Barisan Para Jenderal TNI dan Polisi di Kabinet Prabowo
Kesamaan ini bukan hanya soal strategi militer, tetapi juga pola depersonalisasi musuh yang memungkinkan pelanggaran hak asasi manusia dalam skala besar. Dalam konteks ini, diskusi publik dan sosial media semakin luas—bahkan hingga komunitas judi bola, di mana isu politik dan konflik global sering menjadi bagian dari obrolan yang menggambarkan sentimen dan opini masyarakat dunia.
Zona Tembak Bebas dan Kekacauan yang Terorganisir
Seperti dikisahkan dalam buku Vietnamerica: The War Comes Home oleh Thomas Bass, tentara AS pada masa itu menciptakan “zona tembak bebas”, di mana setiap orang dianggap sebagai target. Hal ini sangat paralel dengan situasi di Gaza, di mana warga sipil tidak lagi memiliki perlindungan.
Seorang mantan Marinir AS berkata:
“Kami diajarkan bahwa semua orang Vietnam yang tinggal di zona itu adalah bagian dari Viet Cong. Anda hanya berburu orang dan membunuh mereka sesuka hati.”
Kini, strategi semacam itu tampak diulang dalam bentuk yang berbeda oleh Israel. Kekacauan yang disebut Mayor Jenderal (cadangan) Giora Eiland sebagai kebutuhan taktis, menggambarkan bagaimana kelaparan massal dijadikan alat untuk menggulingkan kepemimpinan Hamas di Gaza.
“Seluruh Gaza akan kelaparan… dan orang yang lapar akan menggulingkan [Yahya] Sinwar,” ujarnya. Pernyataan ini menjadi bagian dari apa yang dikenal sebagai “Rencana Jenderal”.
Tiket Sekali Jalan ke Rafah
Dalam operasi militer yang kini disebut “Gideon’s Chariots”, Israel berusaha memindahkan lebih dari dua juta warga Palestina ke “zona steril” di sekitar Rafah. Ini adalah relokasi paksa yang menyerupai taktik pengosongan desa di Vietnam.
Dengan kontrol penuh atas jalan utama, warga Palestina hanya diizinkan masuk setelah pemeriksaan, dan tidak diizinkan kembali. Rumah mereka akan dihancurkan sepenuhnya.
Dari Vietnam ke Gaza: Dua Faktor Penentu
Apa yang mengakhiri perang Vietnam bisa juga menjadi akhir dari konflik Gaza:
- Tekad rakyat yang bertahan di tanah mereka
- Opini publik di negara-negara Barat
Di era digital seperti sekarang, opini publik tumbuh cepat dan tersebar luas—termasuk melalui komunitas judi bola online dan media sosial, di mana pengguna dari berbagai latar belakang sering berdiskusi soal konflik ini, bahkan ketika membicarakan topik-topik hiburan atau olahraga.
Pergeseran opini kini mulai terjadi, bahkan di kalangan konservatif dan kanan. Labelisasi kritikus sebagai “antisemit” sudah tak lagi efektif menutupi kekejaman. Isu Gaza kini bukan hanya soal wilayah, tapi juga soal nurani dunia.
Seperti AS di Vietnam, Israel Bisa Menang Pertempuran, Tapi Kalah Perang
AS pernah memenangkan banyak pertempuran, tetapi tetap kalah dalam Perang Vietnam karena kehilangan dukungan publik. Hal yang sama bisa terjadi di Gaza. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dunia akan melihat bahwa menindas dengan kekuatan militer tanpa solusi jangka panjang hanya akan menumbuhkan perlawanan yang lebih keras.
Sama seperti dalam dunia judi bola, di mana hasil pertandingan tak hanya ditentukan oleh kekuatan tim di atas kertas, konflik ini menunjukkan bahwa kemenangan sejati ada pada hati dan pikiran manusia, bukan sekadar dominasi senjata.
There is obviously a lot to identify about this. I assume you made certain good points in features also.