Penetrasi kartu kredit di kalangan milenial dan Gen Z saat ini hanya mencapai 7,60 persen, jauh di bawah ekspektasi. Sebaliknya, layanan paylater justru menunjukkan tren yang melonjak dengan penetrasi mencapai 13,80 persen, hampir dua kali lipat lebih tinggi dari kartu kredit.
Hal ini diungkap oleh Unsecured Business Head Bank Danamon, Tresia Sarumpaet, dalam acara Journalist Class di Jakarta Selatan. Menurutnya, kemudahan dan kecepatan proses pengajuan menjadi alasan utama generasi muda lebih menyukai paylater.
Baca juga : Apakah akan terjadi anak melawan bapak?
“Memang sangat mudah sekali dan saya sendiri merasa, wih kok secepat ini ya prosesnya,” ujar Tresia, yang mengaku pernah mencoba paylater untuk merasakan pengalaman langsung seperti generasi muda lainnya.
Syarat Paylater Lebih Ringan
Paylater hanya memerlukan dokumen dasar seperti KTP dan kadang data pekerjaan serta kontak darurat. Hal ini berbeda dengan kartu kredit yang mensyaratkan informasi yang lebih lengkap, termasuk data tempat kerja dan riwayat finansial.
Namun kemudahan ini menyimpan risiko. Tresia mengingatkan bahwa meskipun prosesnya mudah, bunga paylater jauh lebih tinggi. Bunga yang dikenakan bisa mencapai 0,3 persen per hari, sementara bunga kartu kredit hanya sekitar 1,75 persen per bulan.
“Kalau dihitung, 0,3 persen per hari itu bisa menjadi beban besar dalam jangka panjang. Jadi harus bijak menggunakan,” katanya.
Risiko Finansial: Dari Paylater ke Masalah Kredit
Tresia menekankan pentingnya literasi keuangan, karena semakin banyak anak muda yang tanpa sadar terjebak dalam utang konsumtif. Hal ini tidak hanya memengaruhi kondisi finansial saat ini, tetapi juga masa depan mereka—terutama saat mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri telah memperingatkan bahwa data pengguna paylater tercatat dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK OJK). Jika pengguna memiliki catatan buruk, peluang untuk memperoleh KPR bisa tertutup.
“Banyak anak muda yang harusnya bisa punya rumah pertama, tapi gagal karena masih punya utang paylater,” ungkap Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan OJK.
Paylater, Konsumtif, dan Judi Bola
Di tengah maraknya penggunaan paylater, muncul pula fenomena penggunaan dana pinjaman untuk kebutuhan non-prioritas, termasuk hiburan digital seperti judi bola. Banyak generasi muda tergoda menggunakan dana paylater untuk taruhan online, yang dianggap bisa menghasilkan uang cepat.
Namun, hal ini justru memperbesar risiko finansial. Alih-alih mendapat keuntungan, banyak pengguna justru menambah beban utang mereka akibat kalah taruhan dan terus menggali lubang baru demi menutup utang sebelumnya.
“Kemudahan akses dana kini juga membuka pintu bagi perilaku konsumtif yang berisiko, termasuk bermain judi bola. Ini bisa menjadi awal dari krisis finansial pribadi,” kata seorang pengamat keuangan independen.
Bijak dalam Mengakses Pinjaman
Kesimpulannya, tren penggunaan paylater oleh generasi muda memang menunjukkan bahwa mereka mendambakan solusi finansial yang cepat dan praktis. Namun, jika tidak digunakan dengan bijak—apalagi digunakan untuk hal yang spekulatif seperti judi bola—maka kemudahan itu bisa berubah menjadi bencana.
“Tetap ya, dalam mengakses pinjaman apapun, kita harus bijak dalam penggunaannya,” tutup Tresia.