
SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah) adalah program undian yang pertama kali diperkenalkan oleh Kementerian Sosial pada masa pemerintahan Soeharto, tepatnya pada 1 Januari 1989. Tujuan utamanya adalah untuk menarik dana dari masyarakat yang kemudian akan dialihkan untuk pembangunan negara. Sebagai imbalannya, peserta yang beruntung bisa mendapatkan hadiah uang tunai dengan nominal fantastis—hingga Rp 1 miliar.
Cara ikut serta dalam SDSB sangat sederhana: masyarakat hanya perlu membeli kupon undian dan menunggu pengumuman pemenang, yang biasanya disiarkan pada malam Rabu lewat radio. Jika nomor yang tertera di kupon sesuai dengan pengumuman, si pembeli kupon berhak mendapatkan hadiah uang tunai. Meski begitu, peluang untuk menang sangat kecil. Dari jutaan peserta, hanya satu atau dua orang saja yang beruntung, sehingga bagi mereka yang menang, rasanya seperti “mendapatkan keberuntungan seumur hidup”.
Tak heran kalau SDSB menjadi fenomena besar di Indonesia. Berbagai lapisan masyarakat, mulai dari petani, tukang becak, hingga prajurit TNI, berlomba-lomba ikut serta dalam undian ini. Bahkan, beberapa di antara mereka tak segan berkonsultasi dengan dukun untuk mencari nomor yang dianggap membawa hoki.
Namun, meski menjanjikan hadiah besar, program ini memiliki kesamaan dengan perjudian. Banyak yang menganggap SDSB sebagai bentuk legalisasi judi oleh pemerintah Orde Baru. Aktivis seperti Sri Bintang Pamungkas dalam bukunya Ganti Rezim Ganti Sistem (2014) menyebut bahwa SDSB hanyalah perjudian yang dibungkus dalam bentuk “dermawan sosial”.
Tak heran jika akhirnya banyak pihak yang menentang keberadaan SDSB. Popularitasnya yang terus berkembang justru memicu keresahan di kalangan masyarakat dan lembaga terkait, hingga pada tahun 1993 program ini akhirnya dihentikan.
Salah satu kisah menarik dari SDSB adalah yang dialami oleh Kapten Marinir Suseno, seorang prajurit TNI yang mendadak menjadi miliarder. Pada 7 Mei 1991, Suseno dipanggil oleh Menkopolkam Sudomo di Gedung Menkopolkam untuk menerima hadiah uang tunai sebesar Rp 1 miliar. Hadiah ini ternyata berasal dari undian SDSB, bukan karena prestasinya sebagai prajurit ABRI.
Melansir Suara Pembaruan (8 Mei 1991), Suseno awalnya membeli kupon dengan harga Rp 5.000, dan tak disangka ia berhasil memenangkan hadiah utama. Dengan uang Rp 1 miliar yang diterimanya, Suseno langsung berubah nasib. Pada tahun 1990, nilai Rp 1 miliar sangat besar. Untuk gambaran, harga rumah di kawasan elit Pondok Indah, Jakarta, saat itu hanya sekitar Rp 80 juta per unit. Artinya, dengan uang tersebut, Suseno bisa membeli 12 rumah di sana.
Harga emas pun pada 1990 masih sangat terjangkau, hanya sekitar Rp 20.000 per gram. Dengan uang Rp 1 miliar, Suseno bisa membeli lebih dari 50 kilogram emas. Jika dikonversikan dengan nilai emas saat ini (Rp 1 juta per gram), uang Rp 1 miliar di tahun 1991 setara dengan sekitar Rp 50 miliar di masa kini. Dengan kata lain, Suseno bisa menikmati hidup sejahtera tanpa perlu bekerja lagi seumur hidupnya.
SDSB memang sempat membuat banyak orang mendadak kaya, tapi di balik itu semua, program ini juga meninggalkan kontroversi besar. Begitulah kisah sebuah program undian yang mengubah takdir, tetapi akhirnya harus berakhir karena dianggap lebih mirip dengan perjudian yang sah.