Carlos Ghosn, mantan CEO Nissan, mengkritik rencana potensi merger antara Nissan dan Honda sebagai langkah “putus asa” yang tidak memiliki dasar logis dari perspektif industri maupun potensi sinergi nyata. Menurutnya, ide ini lebih didorong oleh tekanan dari Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang (METI) untuk menyelamatkan Nissan dari krisis besar yang tengah dihadapinya.
“Merger antara Nissan dan Honda ini tidak masuk akal,” ujar Ghosn dalam wawancara dengan Bloomberg Television, seperti dikutip oleh Beritasatu.com, Minggu (22/12/2024).
Baca Juga: Krisis KTM: 265.000 Motor Tak Terjual dalam Setahun
“Tidak ada sinergi berarti antara kedua perusahaan. Mereka beroperasi di pasar yang sama, memiliki produk serupa, dan merek mereka hampir identik,” tambahnya.
Krisis internal Nissan disebut sebagai salah satu pemicu pembicaraan mengenai merger ini. Saat ini, Nissan telah menerapkan “mode darurat,” termasuk rencana pemutusan hubungan kerja terhadap 9.000 karyawan, penundaan peluncuran produk baru, serta pencarian mitra keuangan guna menstabilkan operasinya.
Belakangan, Nissan menjadi sorotan akibat serangkaian langkah penyelamatan yang drastis, seperti merumahkan ribuan pekerja, memotong gaji eksekutif, dan melakukan perubahan dalam struktur kepemimpinan untuk bertahan di industri otomotif yang kompetitif.
Potensi merger dengan Honda menunjukkan tekanan besar yang dihadapi kedua perusahaan. Namun, hal ini juga menyoroti pengaruh signifikan pemerintah Jepang dalam mendorong keputusan strategis di sektor otomotif negara tersebut. Bagi Ghosn, pendekatan ini tidak hanya mencerminkan tantangan besar, tetapi juga menunjukkan bagaimana langkah tersebut lebih bertujuan untuk kepentingan politik daripada logika bisnis.