Wacana Libur Satu Bulan Selama Ramadan: Pro-Kontra dan Sejarahnya
Wacana tentang pemberlakuan libur selama satu bulan penuh di bulan Ramadan kembali menjadi topik diskusi hangat di media sosial. Meskipun belum dibahas secara resmi oleh pemerintah, isu ini menarik perhatian berbagai kalangan. Wakil Menteri Agama, Romo Muhammad Syafi’i, mengaku telah mendengar gagasan tersebut, namun menegaskan belum ada pembahasan mendalam di tingkat pemerintahan.
Baca juga : Ciri-Ciri Orang yang Terkena Penyakit HIV
“Oh, kami belum bahas. Tapi saya pernah dengar, meski belum ada diskusi soal itu,” ujar Romo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/12).
Pro dan Kontra di Masyarakat
Seperti halnya banyak wacana lainnya, gagasan ini menuai respons beragam dari masyarakat. Sebagian pihak menilai gagasan ini kurang relevan dengan situasi saat ini. Salah satu kekhawatiran yang mencuat adalah potensi anak-anak justru lebih banyak bermain gadget selama libur panjang, yang dapat mengurangi fokus pada ibadah.
“Zaman dulu enggak ada gadget. Sekarang anak-anak malah sibuk video call atau main game. Ibadahnya bagaimana?” tulis seorang pengguna di platform X, Jumat (3/1).
Namun, ada pula yang mendukung wacana ini dengan alasan memberikan kesempatan lebih luas kepada siswa untuk menjalani ibadah puasa secara khusyuk tanpa terganggu aktivitas sekolah.
Sejarah Libur di Bulan Ramadan
Jika ditelusuri, tradisi libur selama bulan Ramadan sebenarnya bukan hal baru. Kebijakan serupa pernah diberlakukan sejak era kolonial Hindia Belanda. Saat itu, pemerintah kolonial memberikan libur sekolah selama bulan puasa, termasuk untuk jenjang dasar seperti HIS hingga sekolah menengah seperti HBS dan AMS.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, kebijakan ini tetap dilanjutkan dengan penyesuaian jadwal kegiatan resmi dan non-resmi untuk mendukung umat Islam beribadah dengan lebih tenang. Namun, ketika Presiden Soeharto berkuasa, libur selama bulan Ramadan mulai dipersingkat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Keputusan ini menuai kritik, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Daoed Joesoef, menilai kebijakan libur penuh di bulan Ramadan tidak produktif. Untuk itu, ia menerbitkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0211/U/1978, yang menekankan pentingnya memanfaatkan waktu libur dengan kegiatan positif.
Pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), libur penuh Ramadan sempat diberlakukan kembali. Namun, kebijakan ini kembali diubah pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, yang mengacu pada kebijakan era Daoed Joesoef.
Melihat ke Depan
Diskusi mengenai wacana libur penuh selama bulan Ramadan tampaknya akan terus bergulir. Di satu sisi, ada keinginan untuk menghormati nilai-nilai religius dan memberikan waktu lebih banyak untuk ibadah. Di sisi lain, ada kekhawatiran akan dampak negatif jika kebijakan ini tidak diiringi dengan perencanaan yang matang.
Bagaimanapun, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, baik pro maupun kontra, agar kebijakan yang diambil benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan relevan dengan tantangan zaman.